the chronicle of vazklyshka. Diberdayakan oleh Blogger.

14 Agustus 2016

Langit Jakarta sedikit mendung. Pagi itu, angin bertiup cukup kuat, menggoyangkan ujung daun palem yang menciptakan suara gemerisik lembut. Terdengar suara kicau burung liar dari rumpun semak yang tak terawat. Kendaraan hilir-mudik di jalanan yang cukup lengang.

Beberapa orang mengerumuni gerobak bubur dan jajanan pasar yang mangkal di pinggir jalan. Orang-orang sedang berolahraga pagi, baik dengan berjalan kaki, berlari kecil, maupun mengendarai sepeda, sendiri-sendiri maupun berkelompok, bermunculan satu demi satu. Sebuah pemandangan yang lazim dijumpai di perumahan-perumahan yang ada di Jakarta dan wilayah-wilayah sekitarnya.

Saya, istri, dan kedua putri saya baru saja selesai menikmati sarapan bubur ayam di salah satu sudut komplek perumahan Alfa Indah, Joglo. Setelahnya, kami akan berkunjung ke masjid yang juga berada di dalam komplek itu, namanya Masjid Al Muhsinin. Di sana, kami akan mengikuti acara pengajian yang diampuh oleh Jaringan Pemuda Remaja Masjid Indonesia, JPRMI. Sementara pembicaranya adalah ustadz Syahroni Mardani Lc. Ustadz muda asli Jakarta lulusan universitas Al Azhar di Mesir.

Acara pengajian itu diadakan di teras bagian belakang masjid. Waktu kami baru datang, belum banyak orang yang tampak. Hanya satu dua wajah saja, yang saya kira adalah para panitianya, ada di sana. Meski demikian, sebagian perlengkapan sudah disiapkan. Ada poster berdiri yang diletakkan panitia di pintu masuk, sebuah kursi dan meja untuk registrasi, hijab, serta kursi dan meja di bagian depan untuk pembicara.

Setelah mengantar istri dan anak-anak masuk ke dalam masjid, saya sendiri tidak langsung masuk, namun menunggu sebentar di bangku kayu panjang yang ada di warung di luar pagar masjid sambil membaca-baca pesan yang masuk di telepon seluler. Sebuah kue gemblong ikut menemani ritual diam saya ketika itu. Meski langit agak mendung, namun udara lumayan pengap dan lembab.

Sementara itu, calon peserta pengajian sudah mulai berdatangan satu demi satu. Ada yang naik motor, mobil, atau berjalan kaki. Saya masih duduk ketika ada satu wajah yang saya kenali datang. Setelah menghabiskan gemblong di tangan, saya lalu bangkit dan masuk ke dalam teras masjid, menyapa orang yang saya kenal sembari berbincang sedikit, lalu mencari tempat duduk yang pas dan nyaman.

Awalnya saya ada di sebelah kanan kursi pembicara, namun karena panitia melakukan perubahan posisi peserta, saya bergeser ke bagian tengah yang berbatasan dengan penyekat ruangan. Setelahnya, saya diberikan plastik berisi kue-kue dari panitia. Isinya ada pastel, puding cokelat, dan arem-arem. Saya makan pastel dan puding terlebih dulu, sementara arem-arem saya simpan untuk nanti.

Empat puluh menit sudah berlalu dari pukul delapan pagi. Peserta pengajian mulai memenuhi selasar masjid itu. Jamaah pria ditempatkan di sebelah timur dan jamaah wanita di sebelah barat. Sedangkan anak-anak ditempatkan di sebelah utara. Di sana mereka akan mewarnai dan bermain dengan fasilitas yang disediakan oleh panitia. Selain arena bermain dadakan di teras masjid, panitia juga menyiapkan mobil Perpustakaan Keliling milik Rumah Zakat yang diparkir di luar pagar masjid.

Tak lama kemudian, acara dimulai. Dibuka dengan pembacaan Al Quran dan dilanjutkan dengan sambutan ketua JPRMI yang memaparkan program-program ke depan seperti jalan santai, kajian, dan acara seminar untuk ibu-ibu. Di tengah-tengah sambutan, ustadz yang ditunggu-tunggu datang. Sambutan pun disudahi dan panitia mulai sibuk menyiapkan komputer lipat untuk pembicara dan menyambungkannya ke infokus. Salah seorang panitia menyiapkan air mineral dan teh hangat dan diletakannya di atas meja pembicara.

Oh, iya, saya lupa tema pengajian hari ini cukup menarik: gembira ketika melakukan ketaatan dan sedih ketika meninggalkannya. Judul itu, menurut ustadz, ternyata diambil dari potongan kalimat yang ditulis oleh Ibnu Athoillah di dalam salah satu magnum opus-nya, Al Hikam.

Sesuai tema, ustadz Syahroni membawakan materi dengan gembira. Sesekali beliau melontarkan guyonan khas Betawi di dalam ceramahnya. Mendengar pemaparan beliau yang komprehensif, saya serasa diingatkan kembali dengan semangat di masa-masa awal mengikuti proses tarbiyah yang kini sedang mengalami pasang-surut ini.

Ceramah selesai sekitar pukul sebelas kurang lima belas menit. Saya lalu mengajak anak-anak ke mobil perpustakaan keliling dan menyempatkan diri untuk berbincang tentang tetek-bengek mobil itu dengan salah satu petugas Rumah Zakat, namanya mas Hasan. Beliau orang Bogor, tapi tinggalnya di Kebon Nanas.

Selain mas Hasan, saya juga ngobrol sebentar dengan pak Irvan. Beliau ini penanggungjawab Rumah Zakat. Atau demikian yang saya dengar. Ada beberapa hal yang saya bicarakan dengan beliau, salah satunya soal mobil perpustakaan keliling. Saya mengapresiasi usaha Rumah Zakat untuk mencerdaskan generasi penerus umat melalui program edukasi yang dijalankannya. Semoga usaha itu bisa jadi amal jariyah bagi para donaturnya.

Kami berempat lalu memutuskan untuk pulang.

Kami sempat mampir ke Giant Alfa Indah untuk menarik uang di anjungan tunai mandiri, tapi gagal. Saya sudah coba ke anjungan tunai mandiri yang lain di Indomaret dan di salah satu kantor cabang bank BNI di jalan Joglo Raya tapi masih gagal juga. Sepertinya kartu debit BNI saya sedang bermasalah karena mesin tunai selalu menolak untuk memprosesnya. Padahal uang tunai di tas saya tinggal empat ribu rupiah dan beberapa uang receh logaman.

Saya menelepon adik untuk meminjam uang sebentar, tapi ia juga ternyata lagi bokek. Saya menelepon bulek, tapi tidak diangkat-angkat. Perut saya lapar dan sudah meronta-ronta untuk diisi.

Di tengah kekalutan, istri saya menemukan kartu debitnya. Eh, sebentar. Bukannya kemarin kartu debit istri saya PIN-nya terblokir? Ternyata yang terblokir itu bukan kartu debit milik istri, tapi milik adik saya. Karena warnanya sama, dan karena terburu-buru, saya sempat salah mengira kartu debit milik adik sebagai milik istri.

Saya lalu menguras semua isinya – yang tak seberapa itu – untuk membayar tagihan buku ke Fatahillah hari Senin atau Selasa besok, yang sempat tertunda karena prahara macetnya kartu debit BNI saya.

Karena perut lapar sudah tidak bisa ditolerir, saya lalu membelokkan motor kembali ke Alfa Indah. Istri saya mau membeli sesuatu di supermarket. Sementara saya dan kedua putri saya mampir sebentar beli es doger di samping supermarket itu.

Tentang penjual es doger, saya melihat ada yang menarik dari bapak paruh baya itu. Beliau punya level keramahan yang luar biasa untuk ukuran orang yang “cuma” berjualan es doger. Beliau menyapa anak-anak saya dengan ramah, menanyakan berapa es yang ingin saya beli dengan lebih ramah, dan menyerahkan uang kembalian dengan ramah lagi. Di belakang penjual itu, ada beberapa orang keturunan Tionghoa yang sedang menikmati es di siang yang pengap ini.

Setelah membeli es doger, kami bertiga meluncur ke rumah makan padang yang ada di seberang supermarket itu untuk makan siang.

Menu makan siang saya adalah ikan tuna balado, sayur daun singkong, sambal hijau, bumbu rendang, dan bumbu kremesan ayam yang saya tabur di salah satu sudutnya. Putri sulung saya makan telur dadar dan putri tengah saya memilih ayam bakar. Selesai makan, kami minum es doger sambil menunggu kedatangan istri saya yang ternyata batal membeli barang-barang yang ingin dibelinya tadi. Buahnya kurang bagus, katanya.

Selesai makan, putri tengah saya minta tambah. Saya lalu mengambilkannya menu yang sama namun kali ini dengan tambahan sayur, sambal, dan bumbu rendang supaya ummi-nya bisa ikut makan.

Sekitar jam setengah satu, kami berempat pulang. Jalan Joglo Raya cukup sepi meski ada penumpukan kendaraan, sebagaimana yang selalu terjadi, di perempatan Joglo yang legendaris itu. Sampai di rumah, saya langsung berganti baju dan salat zuhur di kamar depan, sementara anak-anak salat di kamar tengah. [vazklyshka]

Saaba, Agustus 2016